SENYUM DIBALIK HUJAN
Tanggal dua puluh satu Januari pukul setengah tujuh malam. Anna sudah selesai berpakaian rapi. Setelah berpamitan pada ibunya, Anna meluncur menuju rumah makan herbal, tempat favorit Anna dan kawan-kawannya berkumpul, yang terletak di pinggir alun-alun kota. Semilir angin malam mengerakkan ujung jilbabnya. Anna menebar pandang. Gerobak para pedagang berjejer rapi di tepi jalan. penjual nasi goreng, mie ayam, nasi rawut dan lainnya. Beberapa orang bergerombol di depan gerobak nasi goreng. Antrean yang panjang membuat lebar jalan menjadi sempit. Pengendara motor yang ada di depan Anna berkali-kali menekan bel, meminta pembeli itu memberi jalan.
“Ada-ada saja.” Anna tersenyum sambil menggelengkan kepala. Anna sudah memarkirkan motornya di depan rumah makan. Tulisan RESTO HERBAL terpapang jelas di depan pintu masuk. Anna melangkah masuk dengan mantab.
“Halo, Erna. aku udah sampai. Kamu cepetan kesini. Eh, Lidya gimana?” Anna menelfon Erna yang ternyata belum sampai.
“Iya iya. Ni udah di parkiran. Lidya? ada ada tenang aja. Aku mau masuk. daaa”
Dua menit kemudian Erna dan Lidya sudah bergabung bersama Anna.
“Ada apa si An? Tumben ngajak kita makan makan di luar. Dapet tambahan dari bos kamu ya.” Erna memulai percakapan, penasaran. Lidya hanya menyengir. Ia mengeluarkan laptop dari ransel miliknya. “Aku sambil ngerjain tugas ya? gak papa kan?” Lidya memandang bergantian, Anna dan Erna, meminta persetujuan. Yang dipandang mengangguk pasrah. Dalam hitungan detik Lidya sudah sibuk dengan laptop dan tugasnya. Anna mendesah kecewa. Bukan ini yang Anna inginkan. Anna ingin kumpul bersama dua kawan baiknya. Bercanda, tertawa seperti yang dulu pernah mereka lakukan bersama. Pesanan belum datang. Waktu berlalu dengan rasa canggung. Erna sibuk bersms ria dengan seseorang di seberang. Anna lebih banyak diam. Anna memberanikan diri bertanya pada Lidya.
“Masih sibuk kuliah, Lid? bukankah tahun ini kamu lulus?”
“Bukan urusan kampus kok An. Urusan di luar kampus. Tahun ini aku lulus itu pun kalau skripsiku bisa cepat beres.” Lidya tertawa dari balik laptopnya. Anna ikut tertawa.
“Aku cuma bisa mendoakan semoga semuanya berjalan dengan lancar.”
“Amin. makasih ya An. Eh, ngomong-ngomong kamu masih kerja di kantor itu?” Lidya menoleh pada Anna.
“Masih. Ya dulu memang bos ku itu workaholic banget tapi itu karena pekerjaan yang menumpuk terlalu banyak dan aku sebagai karyawannya mencoba mengerti meski terkadang sikap bosku itu terlampau ekstrim dan aneh. Seiring berjalannya waktu bosku berubah. Beliau menjadi lebih ramah, meski sebenarnya memang ramah, lebih banyak senyum, suka bercanda. Aku tahu bahwa badai pasti akan berlalu.” Anna tersenyum.
Sejenak Anna teringat masa awal kerja bersama bosnya itu. Kerja 24 jam nonstop. Dimarahi tiap hari. Disalahkan atas apa yang tidak pernah dilakukan. Menguras tenaga dan kesabaran. Anna dan beberapa rekan kerjanya sudah berniat untuk keluar tapi niat mereka maju mundur. Beruntung dua bulan terakhir bos Anna berubah 180 derajat. Itu menjadi kabar menggembirakan bagi Anna dan rekan kerjanya. Tanda merdeka bagi mereka. Ucapan selamat tinggal untuk lembur dan malam-malam yang suram.
Dua orang pelayan membawa nampan pesanan mereka. Pembicaraan Anna dan Lidya terputus.
“Permisi mbak.” Pelayan pertama meletakkan tiga piring berisi nasi putih di atas meja. Disusul Satu nampan berisi ayam goreng pedas manis yang terlihat menggoda. Yang terakhir minuman untuk mereka bertiga. Jus jambu untuk Anna, Es teh untuk Lidya dan Es campur untuk Erna. Lidya menyenggol Erna yang asyik bermain handphone.
“Makan dulu. Sms siapa si?” Lidya penasaran.
“Paling mas ehem ehem.” Anna menggoda.
Erna tersenyum salah tingkah. “Apaan si. Kalian kepo banget deh.”
“Kamu masih sama dia?” Anna menggigit kentang goreng dengan santai.
“Masih. Dia tu baik banget sama aku An. Perhatian. Beruntung banget deh punya pacar kayak dia.” Erna ikut mengambil kentang. Memandang dengan wajah berbinar.
Lidya memasang ekspresi bingung, tak mengerti.
“Dia? Kamu sudah punya pacar Er?” Lidya penasaran, matanya kembali memandang laptopnya.
“Ya gitu lah, Namanya juga anak muda. Sudahlah kita makan dulu keburu dingin. Ayo Lid. Kerjaannya ditinggal dulu. Gak akan kemana-mana juga kan.”
Lidya menutup laptopnya dan segera meraih piring nasinya.
“Kalau perlu iket aja pake tali.” Erna tertawa, disusul tawa Anna dan Lidya. Suasana menjadi lebih nyaman. Rasa canggung perlahan memudar.
“Eh, kita foto dulu yuk. ya?” Anna meletakkan gelas minumannya. Nasi Anna sudah habis lebih dulu. Erna masih asyik dengan ayam miliknya. Sedangkan Lidya dengan wajah tenang memandang Anna.
“Gimana? Kalian mau kan?”
“Buat apa An?” Tanya Lidya
“Buat kenang-kenangan. Kita kan udah lama gak foto bareng. Aku janji ini yang terakhir. Ya?”
“Ok lah” Lidya dan Erna menjawab berbarengan.
“Ada-ada saja.” Anna tersenyum sambil menggelengkan kepala. Anna sudah memarkirkan motornya di depan rumah makan. Tulisan RESTO HERBAL terpapang jelas di depan pintu masuk. Anna melangkah masuk dengan mantab.
“Halo, Erna. aku udah sampai. Kamu cepetan kesini. Eh, Lidya gimana?” Anna menelfon Erna yang ternyata belum sampai.
“Iya iya. Ni udah di parkiran. Lidya? ada ada tenang aja. Aku mau masuk. daaa”
Dua menit kemudian Erna dan Lidya sudah bergabung bersama Anna.
“Ada apa si An? Tumben ngajak kita makan makan di luar. Dapet tambahan dari bos kamu ya.” Erna memulai percakapan, penasaran. Lidya hanya menyengir. Ia mengeluarkan laptop dari ransel miliknya. “Aku sambil ngerjain tugas ya? gak papa kan?” Lidya memandang bergantian, Anna dan Erna, meminta persetujuan. Yang dipandang mengangguk pasrah. Dalam hitungan detik Lidya sudah sibuk dengan laptop dan tugasnya. Anna mendesah kecewa. Bukan ini yang Anna inginkan. Anna ingin kumpul bersama dua kawan baiknya. Bercanda, tertawa seperti yang dulu pernah mereka lakukan bersama. Pesanan belum datang. Waktu berlalu dengan rasa canggung. Erna sibuk bersms ria dengan seseorang di seberang. Anna lebih banyak diam. Anna memberanikan diri bertanya pada Lidya.
“Masih sibuk kuliah, Lid? bukankah tahun ini kamu lulus?”
“Bukan urusan kampus kok An. Urusan di luar kampus. Tahun ini aku lulus itu pun kalau skripsiku bisa cepat beres.” Lidya tertawa dari balik laptopnya. Anna ikut tertawa.
“Aku cuma bisa mendoakan semoga semuanya berjalan dengan lancar.”
“Amin. makasih ya An. Eh, ngomong-ngomong kamu masih kerja di kantor itu?” Lidya menoleh pada Anna.
“Masih. Ya dulu memang bos ku itu workaholic banget tapi itu karena pekerjaan yang menumpuk terlalu banyak dan aku sebagai karyawannya mencoba mengerti meski terkadang sikap bosku itu terlampau ekstrim dan aneh. Seiring berjalannya waktu bosku berubah. Beliau menjadi lebih ramah, meski sebenarnya memang ramah, lebih banyak senyum, suka bercanda. Aku tahu bahwa badai pasti akan berlalu.” Anna tersenyum.
Sejenak Anna teringat masa awal kerja bersama bosnya itu. Kerja 24 jam nonstop. Dimarahi tiap hari. Disalahkan atas apa yang tidak pernah dilakukan. Menguras tenaga dan kesabaran. Anna dan beberapa rekan kerjanya sudah berniat untuk keluar tapi niat mereka maju mundur. Beruntung dua bulan terakhir bos Anna berubah 180 derajat. Itu menjadi kabar menggembirakan bagi Anna dan rekan kerjanya. Tanda merdeka bagi mereka. Ucapan selamat tinggal untuk lembur dan malam-malam yang suram.
Dua orang pelayan membawa nampan pesanan mereka. Pembicaraan Anna dan Lidya terputus.
“Permisi mbak.” Pelayan pertama meletakkan tiga piring berisi nasi putih di atas meja. Disusul Satu nampan berisi ayam goreng pedas manis yang terlihat menggoda. Yang terakhir minuman untuk mereka bertiga. Jus jambu untuk Anna, Es teh untuk Lidya dan Es campur untuk Erna. Lidya menyenggol Erna yang asyik bermain handphone.
“Makan dulu. Sms siapa si?” Lidya penasaran.
“Paling mas ehem ehem.” Anna menggoda.
Erna tersenyum salah tingkah. “Apaan si. Kalian kepo banget deh.”
“Kamu masih sama dia?” Anna menggigit kentang goreng dengan santai.
“Masih. Dia tu baik banget sama aku An. Perhatian. Beruntung banget deh punya pacar kayak dia.” Erna ikut mengambil kentang. Memandang dengan wajah berbinar.
Lidya memasang ekspresi bingung, tak mengerti.
“Dia? Kamu sudah punya pacar Er?” Lidya penasaran, matanya kembali memandang laptopnya.
“Ya gitu lah, Namanya juga anak muda. Sudahlah kita makan dulu keburu dingin. Ayo Lid. Kerjaannya ditinggal dulu. Gak akan kemana-mana juga kan.”
Lidya menutup laptopnya dan segera meraih piring nasinya.
“Kalau perlu iket aja pake tali.” Erna tertawa, disusul tawa Anna dan Lidya. Suasana menjadi lebih nyaman. Rasa canggung perlahan memudar.
“Eh, kita foto dulu yuk. ya?” Anna meletakkan gelas minumannya. Nasi Anna sudah habis lebih dulu. Erna masih asyik dengan ayam miliknya. Sedangkan Lidya dengan wajah tenang memandang Anna.
“Gimana? Kalian mau kan?”
“Buat apa An?” Tanya Lidya
“Buat kenang-kenangan. Kita kan udah lama gak foto bareng. Aku janji ini yang terakhir. Ya?”
“Ok lah” Lidya dan Erna menjawab berbarengan.
Malam semakin larut namun kesibukan masih belum beranjak dari kota. Masih tampak kendaraan yang berlalu lalang. Para pedagang kaki lima masih setia melayani pembeli.
“Gimana tadi acaranya An?” bu Sinta, ibu Anna menyapa saat Anna keluar dari kamar mandi selesai menggosok gigi.
“Seru lah bu. Sudah lama aku gak kumpul bareng mereka. Rasa rindu terobati. hehehe. Anna tidur dulu ya.”
Ibu Anna tersenyum. Ikut senang.
“Gimana tadi acaranya An?” bu Sinta, ibu Anna menyapa saat Anna keluar dari kamar mandi selesai menggosok gigi.
“Seru lah bu. Sudah lama aku gak kumpul bareng mereka. Rasa rindu terobati. hehehe. Anna tidur dulu ya.”
Ibu Anna tersenyum. Ikut senang.
Hari yang melelahkan. Anna membaringkan tubuhnya yang letih di atas sofa ruang tamu. Rumah sepi. Hanya gerak jarum jam yang terdengar. Pukul lima sore. Handphone Anna bergetar. Anna meraba tas mencari handphonenya. Sms dari Erna.
An, ntar malem kamu sibuk gak? Jalan yuk. Erna
Cepat Anna mengirim balasan.
Q gak sibuk. Ok.
An, ntar malem kamu sibuk gak? Jalan yuk. Erna
Cepat Anna mengirim balasan.
Q gak sibuk. Ok.
Langit malam meriah dengan kelap kelip bintang. Semakin semarak dengan lampu taman kota dan kesibukan orang-orang. Beberapa orang bergerombol di pinggir taman kota, tertawa dan bercanda dengan temannya. Anna melangkah mantap menuju tempat tujuan. Handphone Anna bergetar untuk kesekian kalinya. Pukul tujuh malam, Anna sudah terlambat dari janji dengan Erna. Motor Anna mendarat mulus di parkiran warung makan sederhana. Anna berlari kecil ke dalam rumah makan.
“Maaf Er, aku terlambat. Maaf ya.” Anna duduk di depan Erna. Erna memasang wajah manyun.
“Er, kok diem aja. kamu marah? Maaf maaf. Ceritanya jadi apa gak ni?”
Erna menghela nafas pelan, “Aku baru putus sama Hasan. Aku shock. Gak percaya. Padahal selama ini kami baik-baik aja. Tadi siang dia menemuiku dan mengatakan dia…” kalimat Erna menggantung di langit-langit warung makan. Lengang di antara mereka. Mata Erna berkaca, segera airmata membasahi kedua pipi Erna.
Anna meraih tisu dan memberikannya pada Erna.
“Kamu sudah tanyakan alasannya?”
“Sudah Ann. Tapi dia gak mau menjelaskan. Entahlah. Aku tidak mengerti. Dia sudah berubah.”
“Kalian punya masalah sebelumnya? Tidak mungkin Hasan memutuskan hubungan tanpa alasan yang jelas.”
“Beberapa hari sebelumnya memang kami sempat bertengkar. Aku marah padanya. Belakangan dia susah sekali dihubungi. Disms tidak pernah dibalas apalagi kalau aku telfon, tak pernah sekali pun diangkat. Aku nekat masuk ruangan kelasnya, dan dia hanya bilang kalau dia sedang banyak tugas tidak ingin diganggu. Dia balik marah padaku padahal sebelumnya tidak pernah sekali pun dia marah padaku. Aku paham dan mengerti kalau dia ada banyak tugas, tapi tidak bisakah dia memberi kabar. Sekadar sms.” Erna menyeka airmata yang makin deras.
“Sabar Er. Mungkin Hasan memang tidak ingin diganggu.”
“Aku ingin minta bantuannya Ann. Dia dulu selalu membantuku tapi sekarang dia cuek gak peduli.”
“Kamu seharusnya bisa mengerti dia Er. Dia juga kan ada banyak tugas yang mungkin harus segera ia selesaikan. Kamu datang minta bantuannya. Itu memicu amarahnya. Wajar jika dia marah.”
Erna menatap Anna tajam. Yang ditatap bingung. Apa aku salah bicara, pikir Anna.
“Kamu tidak mengerti Ann. Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan jadi mudah saja kamu bicara seperti itu.” Erna meraih tasnya dan pergi meninggalkan Anna yang masih bingung.
Anna mengejar Erna. Erna sudah menghidupkan mesin motornya, dalam sekejap menghilang di tengah lalu lintas malam yang ramai. Anna segera menghidupkan motornya. Terburu-buru mengenakan helm.
“Erna. Erna. Tunggu Er.” Anna berteriak memanggil nama Erna, tapi Erna tidak sedikit menoleh. Anna menyusul mengejar Erna yang menghilang di pertigaan. Jalanan kota padat lancar. Sepasang muda-mudi berboncengan mesra dan saling mengucapkan kalimat gombal saat Anna menyalip. Erna seratus meter di depan Anna. Anna menambah laju kecepatan motornya. Terus berdoa agar Erna menghentikan kendaraan dan menyelesaikan salah paham di antara mereka. Sial, tiba-tiba sebuah motor menyalip. Motor itu menyenggol sepeda motor Anna. Anna terkejut dan tidak bisa mengendalikan laju motornya hingga akhirnya motor Anna menabrak pohon di tepi jalan. Anna terlempar jauh dari motornya. Pengendara yang menyenggol Anna kabur meninggalkan Anna yang terkapar tak berdaya di tepi jalan. Dengan sedikit kesadaran yang masih tersisa, Anna mencoba bangkit namun sedetik kemudian roboh.
“Maaf Er, aku terlambat. Maaf ya.” Anna duduk di depan Erna. Erna memasang wajah manyun.
“Er, kok diem aja. kamu marah? Maaf maaf. Ceritanya jadi apa gak ni?”
Erna menghela nafas pelan, “Aku baru putus sama Hasan. Aku shock. Gak percaya. Padahal selama ini kami baik-baik aja. Tadi siang dia menemuiku dan mengatakan dia…” kalimat Erna menggantung di langit-langit warung makan. Lengang di antara mereka. Mata Erna berkaca, segera airmata membasahi kedua pipi Erna.
Anna meraih tisu dan memberikannya pada Erna.
“Kamu sudah tanyakan alasannya?”
“Sudah Ann. Tapi dia gak mau menjelaskan. Entahlah. Aku tidak mengerti. Dia sudah berubah.”
“Kalian punya masalah sebelumnya? Tidak mungkin Hasan memutuskan hubungan tanpa alasan yang jelas.”
“Beberapa hari sebelumnya memang kami sempat bertengkar. Aku marah padanya. Belakangan dia susah sekali dihubungi. Disms tidak pernah dibalas apalagi kalau aku telfon, tak pernah sekali pun diangkat. Aku nekat masuk ruangan kelasnya, dan dia hanya bilang kalau dia sedang banyak tugas tidak ingin diganggu. Dia balik marah padaku padahal sebelumnya tidak pernah sekali pun dia marah padaku. Aku paham dan mengerti kalau dia ada banyak tugas, tapi tidak bisakah dia memberi kabar. Sekadar sms.” Erna menyeka airmata yang makin deras.
“Sabar Er. Mungkin Hasan memang tidak ingin diganggu.”
“Aku ingin minta bantuannya Ann. Dia dulu selalu membantuku tapi sekarang dia cuek gak peduli.”
“Kamu seharusnya bisa mengerti dia Er. Dia juga kan ada banyak tugas yang mungkin harus segera ia selesaikan. Kamu datang minta bantuannya. Itu memicu amarahnya. Wajar jika dia marah.”
Erna menatap Anna tajam. Yang ditatap bingung. Apa aku salah bicara, pikir Anna.
“Kamu tidak mengerti Ann. Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan jadi mudah saja kamu bicara seperti itu.” Erna meraih tasnya dan pergi meninggalkan Anna yang masih bingung.
Anna mengejar Erna. Erna sudah menghidupkan mesin motornya, dalam sekejap menghilang di tengah lalu lintas malam yang ramai. Anna segera menghidupkan motornya. Terburu-buru mengenakan helm.
“Erna. Erna. Tunggu Er.” Anna berteriak memanggil nama Erna, tapi Erna tidak sedikit menoleh. Anna menyusul mengejar Erna yang menghilang di pertigaan. Jalanan kota padat lancar. Sepasang muda-mudi berboncengan mesra dan saling mengucapkan kalimat gombal saat Anna menyalip. Erna seratus meter di depan Anna. Anna menambah laju kecepatan motornya. Terus berdoa agar Erna menghentikan kendaraan dan menyelesaikan salah paham di antara mereka. Sial, tiba-tiba sebuah motor menyalip. Motor itu menyenggol sepeda motor Anna. Anna terkejut dan tidak bisa mengendalikan laju motornya hingga akhirnya motor Anna menabrak pohon di tepi jalan. Anna terlempar jauh dari motornya. Pengendara yang menyenggol Anna kabur meninggalkan Anna yang terkapar tak berdaya di tepi jalan. Dengan sedikit kesadaran yang masih tersisa, Anna mencoba bangkit namun sedetik kemudian roboh.
Ruang tunggu rumah sakit lengang. Ibu Anna berdiri cemas. Berkali-kali mengintip Anna yang masih diperiksa dokter. Lidya duduk dengan cemas. Ia masih berusaha menghubungi Erna memberi kabar bahwa Anna kecelakaan.
“Er, angkat dong Er. Ayo.” Lidya menggerutu sendiri. Itu untuk kesekian kalinya ia menghubungi Erna tapi yang menjawab operator telfon. Lidya menyerah. Ia memasukkan handphonenya ke dalam tas. Saat itu dokter yang memeriksa Anna keluar ruangan.
“Bagaimana dok? Bagaimana keadaan putri saya dokter?” Ibu Anna meluncurkan pertanyaan saat dokter keluar ruangan. Dokter berusaha tersenyum ramah pada ibu Anna.
“Kondisi putri ibu sangat krisis. Putri ibu kehilangan banyak darah. Harus segera dilakukan transfusi darah untuk mencegah kemungkinan yang lebih buruk. Transfusi darah baru bisa dilakukan besok pagi karena stok darah untuk putri ibu sedang kosong. Ibu banyak berdoa memohon pada Tuhan agar putri ibu bisa melewati masa kritisnya. Saya permisi.” Dokter melangkah meninggalkan Ibu Anna. Lidya mengangguk saat dokter melewatinya.
“Yang sabar ya bu dhe.” Lidya memegang pundak ibu Anna yang bergetar saat melihat Anna terbaring lemah. Wajah Anna pucat. Kepala Anna diperban. Ada beberapa luka lecet di lengan Anna. Anna terlihat damai seperti sedang mengalami tidur panjang seperti seorang putri yang terkena kutukan sang penyihir jahat dan menunggu kedatangan seorang pangeran yang akan membangunkannya. Meski wajahnya pucat, senyum Anna masih terkembang tipis di bibir indahnya. Airmata Ibu Anna semakin deras. Matanya terus menatap putrinya itu. Waktu berjalan teramat cepat. Langit menjadi gelap. Siang telah berubah menjadi malam.
“Sudah malam bu dhe. Lebih baik bu dhe tidur. Biar saya yang menjaga Anna.” Lidya memberi usul.
“Bu dhe belum ngantuk. Bu dhe mau salat dulu, bu dhe belum salat isya’. Kamu bawa mukena Lid?.” Ibu Anna bertanya.
Lidya mengambil mukena dari dalam tas dan menyerahkannya pada Ibu Anna.
Ibu Anna bersujud dengan takzim dan khusyuk. Bulir bulir airmata jatuh di atas sajadah. Doa demi doa terpanjatkan pada Tuhan Pemilik Semesta Alam. Sejenak kedamaian menyusup ke dalam hati. Lidya yang belum bisa tidur mendengarkan detail kalimat doa ibu Anna. Betapa besar kasih sayang seorang ibu. Ibu yang mengandung, melahirkan, merawat dan mendidik anak-anaknya tanpa kenal lelah. Berapa banyak yang anak telah berikan kepada ibu tetap tidak akan sepadan dengan yang telah ibu berikan pada anaknya. Benar jika kasih ibu sepanjang masa, sedangkan kasih anak sepanjang jalan.
“Er, angkat dong Er. Ayo.” Lidya menggerutu sendiri. Itu untuk kesekian kalinya ia menghubungi Erna tapi yang menjawab operator telfon. Lidya menyerah. Ia memasukkan handphonenya ke dalam tas. Saat itu dokter yang memeriksa Anna keluar ruangan.
“Bagaimana dok? Bagaimana keadaan putri saya dokter?” Ibu Anna meluncurkan pertanyaan saat dokter keluar ruangan. Dokter berusaha tersenyum ramah pada ibu Anna.
“Kondisi putri ibu sangat krisis. Putri ibu kehilangan banyak darah. Harus segera dilakukan transfusi darah untuk mencegah kemungkinan yang lebih buruk. Transfusi darah baru bisa dilakukan besok pagi karena stok darah untuk putri ibu sedang kosong. Ibu banyak berdoa memohon pada Tuhan agar putri ibu bisa melewati masa kritisnya. Saya permisi.” Dokter melangkah meninggalkan Ibu Anna. Lidya mengangguk saat dokter melewatinya.
“Yang sabar ya bu dhe.” Lidya memegang pundak ibu Anna yang bergetar saat melihat Anna terbaring lemah. Wajah Anna pucat. Kepala Anna diperban. Ada beberapa luka lecet di lengan Anna. Anna terlihat damai seperti sedang mengalami tidur panjang seperti seorang putri yang terkena kutukan sang penyihir jahat dan menunggu kedatangan seorang pangeran yang akan membangunkannya. Meski wajahnya pucat, senyum Anna masih terkembang tipis di bibir indahnya. Airmata Ibu Anna semakin deras. Matanya terus menatap putrinya itu. Waktu berjalan teramat cepat. Langit menjadi gelap. Siang telah berubah menjadi malam.
“Sudah malam bu dhe. Lebih baik bu dhe tidur. Biar saya yang menjaga Anna.” Lidya memberi usul.
“Bu dhe belum ngantuk. Bu dhe mau salat dulu, bu dhe belum salat isya’. Kamu bawa mukena Lid?.” Ibu Anna bertanya.
Lidya mengambil mukena dari dalam tas dan menyerahkannya pada Ibu Anna.
Ibu Anna bersujud dengan takzim dan khusyuk. Bulir bulir airmata jatuh di atas sajadah. Doa demi doa terpanjatkan pada Tuhan Pemilik Semesta Alam. Sejenak kedamaian menyusup ke dalam hati. Lidya yang belum bisa tidur mendengarkan detail kalimat doa ibu Anna. Betapa besar kasih sayang seorang ibu. Ibu yang mengandung, melahirkan, merawat dan mendidik anak-anaknya tanpa kenal lelah. Berapa banyak yang anak telah berikan kepada ibu tetap tidak akan sepadan dengan yang telah ibu berikan pada anaknya. Benar jika kasih ibu sepanjang masa, sedangkan kasih anak sepanjang jalan.
Dengan hati-hati Lidya meraih handphone di dalam tasnya. Mencoba menghubungi Erna lagi. Lidya mengirim sms mengabarkan Anna masuk rumah sakit. Malam semakin larut. Ruangan lengang. Lidya sudah tertidur satu jam yang lalu setelah mengirim sms kepada Erna. Ibu Anna tertidur di samping ranjang Anna.
Keesokan harinya. Pukul enam pagi. Erna berlari lari kecil sepanjang lorong rumah sakit. Bertanya dimana Anna dirawat. Anna melihat Lidya dan ibu Anna menunggu di ruang tunggu. Wajah mereka menandakan kabar yang tidak baik.
“Bu dhe, maaf bu dhe Erna baru bisa datang. Bagaimana keadaan Anna bu dhe?” Erna menyalami Ibu Anna.
Ibu Anna hanya menggeleng, enggan berbicara. Wajahnya tampak sangat letih.
“Satu jam yang lalu tubuh Anna mengejang. Kami tidak tahu kenapa. Dokter datang dan meminta kami keluar ruangan.” Lidya angkat bicara. Mata Erna berkaca hampir saja airmatanya tumpah. Erna mengintip dari balik jendela. Dokter tampak sibuk memeriksa Anna. Wajah Anna semakin pucat. Namun senyum tipis itu masih terkembang. Erna duduk tertunduk di sebelah Lidya.
“Ini semua salahku.” Suara Erna bergetar.
“Apa? kamu bilang apa Er?” Lidya menoleh.
“Ini semua salahku Lid. Kemarin aku marah pada Anna dan aku meninggalkannya begitu saja di warung makan itu. Anna berusaha mengejarku tapi aku tidak mempedulikannya. Kecelakaan ini terjadi karena aku Lid.” Erna memaki dirinya sendiri.
“Ini semua kehendak Tuhan, Er. Terlepas ini salah siapa. Dari kejadian ini semoga kita bisa menjadi teman yang lebih saling mengerti dan memahami satu dengan yang lain. Membuang semua ego diri. Kita berdoa saja agar Anna bisa melewati masa kritisnya dan bisa kembali berkumpul bersama kita.” Lidya merangkul pundak kawan baiknya itu, menenangkan. Erna, Lidya dan ibu Anna tiada henti berdoa, memohon agar Anna diberi kesembuhan. Dzikir tak pernah putus dari bibir mereka.
“Bu dhe, maaf bu dhe Erna baru bisa datang. Bagaimana keadaan Anna bu dhe?” Erna menyalami Ibu Anna.
Ibu Anna hanya menggeleng, enggan berbicara. Wajahnya tampak sangat letih.
“Satu jam yang lalu tubuh Anna mengejang. Kami tidak tahu kenapa. Dokter datang dan meminta kami keluar ruangan.” Lidya angkat bicara. Mata Erna berkaca hampir saja airmatanya tumpah. Erna mengintip dari balik jendela. Dokter tampak sibuk memeriksa Anna. Wajah Anna semakin pucat. Namun senyum tipis itu masih terkembang. Erna duduk tertunduk di sebelah Lidya.
“Ini semua salahku.” Suara Erna bergetar.
“Apa? kamu bilang apa Er?” Lidya menoleh.
“Ini semua salahku Lid. Kemarin aku marah pada Anna dan aku meninggalkannya begitu saja di warung makan itu. Anna berusaha mengejarku tapi aku tidak mempedulikannya. Kecelakaan ini terjadi karena aku Lid.” Erna memaki dirinya sendiri.
“Ini semua kehendak Tuhan, Er. Terlepas ini salah siapa. Dari kejadian ini semoga kita bisa menjadi teman yang lebih saling mengerti dan memahami satu dengan yang lain. Membuang semua ego diri. Kita berdoa saja agar Anna bisa melewati masa kritisnya dan bisa kembali berkumpul bersama kita.” Lidya merangkul pundak kawan baiknya itu, menenangkan. Erna, Lidya dan ibu Anna tiada henti berdoa, memohon agar Anna diberi kesembuhan. Dzikir tak pernah putus dari bibir mereka.
Waktu berlalu bagai siput berjalan. Sudah lebih dari satu jam mereka menunggu namun belum ada tanda-tanda Anna akan sembuh setidaknya bangun dari tidur panjangnya. jarum jam menunjuk angka sebelas dan sebentar lagi pukul delapan, saat itulah dokter keluar dari ruangan Anna. Tak ada senyum yang kemarin sempat dilihat Lidya dan ibu Anna. Wajah itu mendesah pelan saat ibu Anna, Lidya dan Erna mendekat.
“Bagaimana dokter?” ibu Anna menguatkan diri bertanya.
“Putri ibu sudah siuman tapi saya minta jangan terlalu banyak diajak bicara karena kondisinya masih sangat lemah. Saya permisi.” Dokter berpamitan.
Mata itu terlihat sangat sayu. Seolah cahaya kehidupan tercabut paksa dari dirinya. Anna tersenyum pada ibu, Lidya dan Erna saat mereka masuk ruangan setelah izinkan dokter.
“Anna tidak apa-apa bu.” Suara itu terdengar sangat rapuh. Senyum tipisnya masih terkembang. Ibu Anna menangis tanpa suara. Tak sanggup. Lidya dan Erna berdiri mematung.
“Erna, maafkan aku. Mungkin…,” Anna menarik nafas panjang, “perkataanku kemarin menyakitimu.” Erna mendekat dan mendekap Anna erat.
“Tidak Ann. Seharusnya aku yang minta maaf. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu.”
“Sudahlah Er.” Lidya menengahi.
“Kita… lupakan saja… masalah itu.” Anna menjawab patah-patah.
“Cepat sembuh ya nak. Jangan tinggalkan ibu sendiri. Ibu tidak mau kamu pergi. Lebih baik ibu saja yang pergi.” Ibu Anna tersedu.
“Jangan bilang begitu bu. Ibu sendiri kan yang selalu bilang hidup dan mati seseorang ada di tangan Tuhan.” Nafas Anna semakin berat. Ibu Anna, Lidya dan Erna panik. Lidya berlari menuju pintu dan berteriak memanggil dokter. Tak ada yang datang.
“Bu dhe saya cari dokter dulu bu dhe. Anna kamu harus bertahan.” Lidya menatap Anna. Ibu Anna dan Erna bingung harus berbuat apa. Patah-patah Anna mengucapkan dua kalimat syahadat. Ibu Anna membimbing dengan hati teriris. Di ujung kalimat mata Anna perlahan tertutup. Tangis Ibu Anna dan Erna seketika pecah.
“Anna bangun. Jangan tinggalkan ibu. Anna bangun nak.”
“Anna bangun. Aku mohon Ann. Buka matamu Ann.”
Dari arah pintu muncul Dokter dan Lidya.
Ibu Anna menoleh, “Dokter tolong selamatkan anak saya dok. Tolong.” Ibu Anna memohon dengan bersimbah airmata.
“Saya periksa dulu bu.” Dokter meminta Ibu Anna, Lidya dan Erna keluar ruangan.
“Bagaimana dokter?” ibu Anna menguatkan diri bertanya.
“Putri ibu sudah siuman tapi saya minta jangan terlalu banyak diajak bicara karena kondisinya masih sangat lemah. Saya permisi.” Dokter berpamitan.
Mata itu terlihat sangat sayu. Seolah cahaya kehidupan tercabut paksa dari dirinya. Anna tersenyum pada ibu, Lidya dan Erna saat mereka masuk ruangan setelah izinkan dokter.
“Anna tidak apa-apa bu.” Suara itu terdengar sangat rapuh. Senyum tipisnya masih terkembang. Ibu Anna menangis tanpa suara. Tak sanggup. Lidya dan Erna berdiri mematung.
“Erna, maafkan aku. Mungkin…,” Anna menarik nafas panjang, “perkataanku kemarin menyakitimu.” Erna mendekat dan mendekap Anna erat.
“Tidak Ann. Seharusnya aku yang minta maaf. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu.”
“Sudahlah Er.” Lidya menengahi.
“Kita… lupakan saja… masalah itu.” Anna menjawab patah-patah.
“Cepat sembuh ya nak. Jangan tinggalkan ibu sendiri. Ibu tidak mau kamu pergi. Lebih baik ibu saja yang pergi.” Ibu Anna tersedu.
“Jangan bilang begitu bu. Ibu sendiri kan yang selalu bilang hidup dan mati seseorang ada di tangan Tuhan.” Nafas Anna semakin berat. Ibu Anna, Lidya dan Erna panik. Lidya berlari menuju pintu dan berteriak memanggil dokter. Tak ada yang datang.
“Bu dhe saya cari dokter dulu bu dhe. Anna kamu harus bertahan.” Lidya menatap Anna. Ibu Anna dan Erna bingung harus berbuat apa. Patah-patah Anna mengucapkan dua kalimat syahadat. Ibu Anna membimbing dengan hati teriris. Di ujung kalimat mata Anna perlahan tertutup. Tangis Ibu Anna dan Erna seketika pecah.
“Anna bangun. Jangan tinggalkan ibu. Anna bangun nak.”
“Anna bangun. Aku mohon Ann. Buka matamu Ann.”
Dari arah pintu muncul Dokter dan Lidya.
Ibu Anna menoleh, “Dokter tolong selamatkan anak saya dok. Tolong.” Ibu Anna memohon dengan bersimbah airmata.
“Saya periksa dulu bu.” Dokter meminta Ibu Anna, Lidya dan Erna keluar ruangan.
Lima menit kemudian.
“Maaf bu. Putri ibu sudah tidak ada. Detak jantungnya berhenti sejak empat menit yang lalu. Saya sudah berusaha semampu saya. Maaf. Ibu yang sabar. Saya permisi.” Dokter mencoba menghibur.
“Bu dhe, yang sabar bu dhe.” Lidya dan Erna membimbing Ibu Anna duduk. Lorong rumah sakit lengang. Mereka menatap perih jasad Anna yang telah tertutup kain putih.
“Maaf bu. Putri ibu sudah tidak ada. Detak jantungnya berhenti sejak empat menit yang lalu. Saya sudah berusaha semampu saya. Maaf. Ibu yang sabar. Saya permisi.” Dokter mencoba menghibur.
“Bu dhe, yang sabar bu dhe.” Lidya dan Erna membimbing Ibu Anna duduk. Lorong rumah sakit lengang. Mereka menatap perih jasad Anna yang telah tertutup kain putih.
Langit di atas sana hitam pekat. Hujan sebentar lagi datang. Titik titik air hujan berubah menjadi deras dalam hitungan menit. Menambah suasana yang pedih menjadi lebih pedih. Para tetangga, teman sekolah, rekan kerja, bos Anna datang mengucapkan belasungkawa pada ibu Anna. Pemakaman mulai sepi. Tinggal Lidya, Erna dan Ibu Anna.
“Bu dhe, kita pulang yuk. Hujannya semakin deras bu dhe. Nanti bu dhe sakit.” Lidya membimbing ibu Anna melangkah. Erna mengikuti dari belakang. Erna mendongak, memandang langit yang berwarna abu-abu.
Meski langit menjadi gelap, hujan turun dengan derasnya, aku masih bisa melihat senyum indahmu, teman. Sebuah senyum yang tersembunyi di balik hujan.
“Erna, ayo. Hujannya makin besar. Kalau kamu pingsan aku gak mau gendong lho ya.” Lidya berseru dari tepi jalan raya. Membuyarkan lamunan Erna.
“Eh? Jahat banget sie. Tunggu.” Erna berlari-lari menghindari hujan.
Anna kau akan menjadi teman terbaikku, selamanya.
“Bu dhe, kita pulang yuk. Hujannya semakin deras bu dhe. Nanti bu dhe sakit.” Lidya membimbing ibu Anna melangkah. Erna mengikuti dari belakang. Erna mendongak, memandang langit yang berwarna abu-abu.
Meski langit menjadi gelap, hujan turun dengan derasnya, aku masih bisa melihat senyum indahmu, teman. Sebuah senyum yang tersembunyi di balik hujan.
“Erna, ayo. Hujannya makin besar. Kalau kamu pingsan aku gak mau gendong lho ya.” Lidya berseru dari tepi jalan raya. Membuyarkan lamunan Erna.
“Eh? Jahat banget sie. Tunggu.” Erna berlari-lari menghindari hujan.
Anna kau akan menjadi teman terbaikku, selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar