Selasa, 09 Juni 2015

BEST FRIEND
“Aku melihat Mas Aldi menunggangi kuda putih. Ia datang menghampiriku, Fit. Mengajakku berkeliling. So sweet banget.” Dengan wajah sumringah Siska menceritakan mimpi indahnya semalam. Mimpi indah bersama sang pujaan hati, Mas Aldi. Matanya melayang menatap langit biru. Kalau di film kartun mungkin akan ada balon berbentuk hati yang terbang mengelilingi dirinya. Aku hanya geleng-geleng kepala. Entah sudah berapa kali Siska menceritakan mimpinya itu padaku.
Mas Aldi itu tetangga dekatku. Rumahnya hanya berjarak dua gang denganku. Orangnya baik, sopan, juga rajin jama’ah di Masjid desa. Aku sering berpapasan dengannya saat jama’ah di Masjid. meski kami satu desa tapi aku jarang ngobrol dengannya. Dan Siska mengenal Mas Aldi secara tak sengaja. Waktu itu ada pengajian di Masjid desaku. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Aku mengajaknya menghadiri pengajian karena esok hari libur kerja.
“Itu siapa Fit? Ganteng banget.” Siska menunjuk Mas Aldi yang waktu itu juga menjadi panitia acara pengajian.
“Namanya Mas Aldi.”
“Udah punya pacar belum?”
“Emmm, kasih tahu gak ya?” aku tersenyum menggoda,
“Kasih tahu dong Fit. Please.”
“Setahuku si belum. Kenapa memangnya?”
Siska hanya tersenyum memandangi Mas Aldi yang sedang sibuk menata bangku untuk bapak-bapak. Sejak hari itu Siska jadi sering tanya soal Mas Aldi padaku. Hari ulang tahunnya, makanan kesukaannya, kegeamarannya, warna kesukaannya, dan segala hal yang berkaitan dengan pujaan hatinya, Mas Aldi.
“Mana aku tahu Sis. Kamu tanya langsung aja sama orangnya.” Jawabku.
Aku benar-benar tidak habis pikir. Apa Siska benar-benar suka sama Mas Aldi? Entahlah.
Tanpa sepengetahuanku Siska menemui Mas Aldi. Entah kapan dan dimana aku tidak tahu.
“Ternyata dia itu guru, Fit.” Siska bercerita padaku di sela-sela jam istirahat kerja.
“Emmm.” jawabku singkat.
“Orangnya juga ramah.”
“Emm,” Aku menggigit bakwan goreng.
“Perfect banget ya, Fit. Mungkin gak ya aku berjodoh sama Mas Aldi.”
Aku tersedak. Segera aku meraih gelas minumanku, “Apa? Tapi… mungkin saja. Berdoa pada Allah agar kalian ditakdirkan berjodoh. Tapi, inget jangan nekat. Mas Aldi gak suka sama cewek yang over.”
“Amin. Sip sip.”
Pukul delapan malam Siska datang ke rumahku. Raut mukanya tegang. Seolah hal buruk sedang menimpanya. Siska mendapat kabar kalau Mas Aldi dirawat di rumah sakit. Kecelakaan.
“Innalillahi wainnaillaihi rojiun.” Aku setengah tidak percaya.
“Fitri. Kamu apaan si. Mas Aldi kan cuma sakit gak meninggal.”
“Saat saudara kita ada yang tertimpa musibah entah itu kecelakaan ataupun meninggal dunia, kita sebagai muslim yang baik harus mengucapkan, “innalillahi wainnaillaihi rojiun. Karena semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah dan akan kembali pada Allah.”
“Oh, begitu. Innalillahi wainnaillaihi rojiun.” Siska mengikuti perkataanku.
“Fit, temenin aku jenguk Mas Aldi ya. Please…”
“Sekarang?” Aku bertanya,
Siska mengangguk mantab, “please”
Setelah membeli buah-buahan untuk Mas Aldi, kami berdua meluncur Ke Rumah Sakit Hasanudin, tempat Mas Aldi dirawat. Mas Aldi sedang istirahat saat kami datang. Ibu Mas Aldi menyambut kami dengan ramah. Siska mendekati tempat tidur Mas Aldi. Dipandanginya orang yang ia sayangi itu lekat-lekat. Aku jadi miris. Semoga kalian benar berjodoh ya Sis. Amin.
Langit senja selalu menjadi pemandangan yang menyenangkan bagiku. Rasa penat, lelah dan suntukku hilang dalam sekejap. Biasanya aku menikmati langit senja bersama Siska namun tidak untuk hari ini. Siska izin libur kerja selama 3 hari. Aneh memang karena biasanya aku dan Siska selalu bersama dan sekarang tidak ada Siska rasanya…
Seseorang tiba-tiba membunyikan bel dari arah belakangku.
“Huh, siapa sich” Gerutuku dalam hati. Pengendara sepeda motor itu mendekat.
“Hai, Fit. Sendirian saja?” Pengendara motor itu menyapaku. Dia Mas Aldi. Waduh, kenapa disaat seperti tidak ada Siska.
“Eh, iya Mas. Siska hari ini tidak masuk kerja jadinya aku pulang sendirian.”
“Oh, gitu. Temanmu itu lucu ya. Orangnya ceria.” Mas Aldi senyum-senyum.
Jadilah kami berdua pulang bersama. Ya, rumah kami juga kan searah. Entah kebetulan atau bagaimana tiga hari ini aku sering berpapasan dengan Mas Aldi. Kebersamaan yang cukup menyenangkan. Mas Aldi sering bercerita tentang kegiatan di Masjid desa kami.
“Ikutlah, Fit. Tidak apa-apa. Ajak juga temanmu si Siska itu.” Mas Aldi membujukku. Aku hanya membalas dengan tersenyum.
Hari minggu. Mentari di atas sana memancarkan cahaya dengan penuh suka cita. Beberapa kupu-kupu terbang dan sesekali hinggap pada bunga-bunga yang mulai bermekaran. Terdengar suara kokok ayam tetangga yang sedang sibuk mencari makan. Ramai sekali. Seharusnya aku merasa damai. Nyatanya tidak. Pukul tujuh pagi saat aku sedang melahap menu sarapanku, Siska datang ke rumahku. Wajahnya merah padam. Tak kulihat senyum manja miliknya.
“Munafik kamu Fit. Tega kamu.” Dengan emosi meluap Siska memarahiku.
Aku diam tak mengerti. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba Siska marah padaku.
“Aku tidak menyangka, Fit. Kamu benar-benar tega sama aku.”
“Ada apa Sis? Aku tidak mengerti?”
“Alah, Jangan pura-pura tidak tahu kamu, Fit. Saat aku tidak masuk kerja kemarin kamu sering jalan bareng sama Mas Aldi. Kamu suka sama Mas Aldi? Kamu tahu kan kalau aku suka sama Mas Aldi. Tapi kenapa kamu tega sama aku, Fit?” Siska menyeka airmatanya.
“Aku… Aku tidak ada apa-apa sama Mas Aldi Sis. Kami tidak sengaja bertemu dan kami pulang bareng. Itu saja. Kamu salah paham Sis. Aku tidak punya perasaan apa-apa sama Mas Aldi. Percaya sama aku, Sis.”
Siska tidak percaya dengan semua kata-kataku. Ia menganggap aku telah merebut Mas Aldi darinya. Ia menganggap aku telah mengkhianati dirinya dan persahabatan kami.
Selama satu minggu ini Siska susah sekali dihubungi. Setiap kali aku telefon tak pernah sekalipun diangkat. Di tempat kerja pun Siska lebih memilih menghindar. Hatiku terasa hancur. Persahabatan yang telah aku bina sejak kami berdua masih duduk di bangku SMP harus pecah dan terancam hancur hanya gara-gara cowok. Siska, kenapa kamu tidak percaya padaku. Tak pernah sedikit pun aku berniat untuk merebut Mas Aldi darimu. Aku tidak mungkin merebut kebahagiaan sahabatku sendiri. Tapi kenapa?
Pikiranku kacau. Semua terlihat hitam dan gelap. Kurasakan hujan akan segera datang.
Seseorang mengetuk pintu kamarku. Dengan malas aku membukanya, ternyata Mas Ferdi.
“Fit, ikut aku yuk.”
“Malas”
“Ayolah, Fit. Daripada kamu di rumah tidak ada kerjaan.”
“Malas ah. Siang-siang begini mau kemana sich? Enakan juga tidur.”
“Sebentar doang. Cuma mau nganterin pesanan undangan. Ayolah Fit. Masak kamu tega ngelihat kakakmu ini bawa barang sebanyak itu.” Mas Ferdi menunjukkan bungkusan plastik yang ukurannya lumayan besar padaku. Akhirnya aku mau menemani Mas Ferdi ke rumah temannya itu. Udara di luar benar-benar sangat panas. Kuraih jaket yang tergantung di dekat almari. Jalanan sepi. Hanya dua tiga kendaraan yang berlalu lalang. Mereka mungkin lebih senang berdiam di dalam rumah menikmati segelas es buah daripada harus berpanas-panasan seperti ini. Saat itu aku bertemu Siska, Ia baru saja keluar dari supermarket. Siska melajukan sepeda motornya sangat cepat. Aku tak sempat untuk menyapanya.
“Fit, Itu Siska kan. Kok tumben. Kalian marahan?” Mas Ferdi berkata setengah berbisik padaku. Aku diam. Mataku terus memandang punggung Siska yang semakin lama menghilang di ujung belokan. Mas Ferdi membelokkan kendaraan ke kiri. Bukankah ini gang ke rumah Mas Aldi? Aku tersadar. Aku menjadi penasaran siapa teman Mas Ferdi yang memesan surat undangan yang sedari tadi aku pegang. Aku membuka bungkusan plastik dengan perasaan tak menentu. Undangan pernikahan Mas Aldi. Jantungku terasa berhenti berdetak. Tiga hari lagi Mas Aldi akan menikah. Aku terpaku menatap undangan berwarna coklat yang ada di tanganku. Seketika aku teringat Siska. Apakah dia sudah tahu kalau Mas Aldi akan menikah? Segera aku ambil handphone dan dengan cepat jemariku menulis pesan singkat untuk Siska. Namun gerak tanganku terhenti. Aku ragu, apakah Siska akan percaya? Siska masih marah padaku mana mungkin ia akan percaya. Pesan singkat itu mengambang di layar handphoneku.
Hari yang cerah. Hari ini pernikahan Mas Aldi. Para tamu undangan duduk memenuhi meja tamu sambil menikmati hidangan yang sudah disediakan. Mas Aldi kelihatan sangat berbeda. Rapi dan tampan, tak heran jika Siska begitu mengidamkan Mas Aldi. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya. Seorang perempuan muda berdiri di samping Mas Aldi. Perempuan itu kelihatan sangat cantik dengan kebaya putih. Senyum bahagia juga terpancar dari wajah cantiknya. Ia Mbak Arini, seorang yang aku kenal sangat baik dan sopan. Yang sekarang telah resmi menjadi isteri mas Aldi.
“Fit, sebelah sana belum dibersihin.” Mas Ferdi menyenggol lenganku membuyarkan aktifitas melamunku. Aku segera menuju meja yang ditunjuk kakakku itu. Matahari mulai condong ke barat. Namun para tamu masih banyak yang datang. Tubuhku mulai merasa letih. Jilbab panjangku berayun ditiup angin yang lewat. Sejuk rasanya. Aku teringat Siska. Bagaimana dia sekarang? Sudahkah dia tahu Mas Aldi hari ini menikah? Semua pertanyaan itu berjejal di kepalaku. Tiba-tiba sebuah nada pesan berdenging dari handphoneku. Satu sms masuk.
“Fitri. kamu dimana? Aku ingin bicara. Aku sekarang di teras rumahmu.”
Sms dari Siska. Ada apa lagi? Aku bertanya pada diriku sendiri.
Aku memasuki halaman rumah. Siska berjalan mendekatiku. Airmata tumpah dari pelupuk matanya. Tanpa kuduga Siska memelukku.
“Fit, maafkan aku ya. Aku sudah marah-marah sama kamu. Aku sudah menuduh kamu. Sudah menganggap kamu pengkhianat. Maafkan aku ya, Fit”
“Ya, Sis. aku sudah memaafkan kamu kok. Yang lalu biarlah berlalu. Semoga kita bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tapi, kamu jangan cemburu berlebihan seperti kemarin ya, Sis.” Aku tersenyum pada sahabatku itu
“Siap, bos. Kamu memang best friend aku Fit. Meski aku sudah menyakiti kamu tapi kamu masih mau menerima aku. Kamu teman aku yang paliiiing baik deh.” Siska mencubit kedua pipiku.
“Lebay deh. Sudahlah. Manusia juga kan bisa khilaf. Tapi jangan diulangi lagi lho ya.”
Siska mengacungkan dua jempol padaku.
Langit senja tersenyum bersama kami. Semilir angin menari-nari di antara dedaunan. Menerbangkan ujung jilbab biruku.
Terimakasih ya Rabb, Engkau telah membuka hati Siska dan kami bisa bersama kembali. Jagalah persahabatan kami, ya Rabb. Jauhkan dari permusuhan dan perselisihan. Agar kami bisa bersahabat hingga kami tua nanti. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar