MATA PELANGI
Gadis kecil itu duduk di teras rumah seorang diri. Tidak ada ayah ataupun nenek yang menemaninya kali ini. Hujan masih turun membasahi halaman rumah. Taman. Bunga. Pohon-pohon. Ayunan. Semua basah. Gadis kecil itu mengayunkan kaki mungilnya bermain air hujan. Sesekali ia tersenyum kecil merasakan dinginnya air hujan.
“Senja ayo masuk. Hujan.” Seorang ibu setengah baya keluar dari dalam rumah.
“Tapi, nek Senja pengen lihat pelangi.” Gadis kecil bernama Senja itu masih bermain air hujan, tak menghiraukan ajakkan neneknya.
“Lihat pelanginya di dalam saja ya.”
“Gak mau. Senja pengen lihat pelangi di sini.” Senja protes.
“Ya sudah. Tapi gak boleh hujan-hujan ya.” Neneknya mengalah. Meninggalkan Senja sendiri.
“Senja ayo masuk. Hujan.” Seorang ibu setengah baya keluar dari dalam rumah.
“Tapi, nek Senja pengen lihat pelangi.” Gadis kecil bernama Senja itu masih bermain air hujan, tak menghiraukan ajakkan neneknya.
“Lihat pelanginya di dalam saja ya.”
“Gak mau. Senja pengen lihat pelangi di sini.” Senja protes.
“Ya sudah. Tapi gak boleh hujan-hujan ya.” Neneknya mengalah. Meninggalkan Senja sendiri.
Hari mulai sore. Langit menyisakan titik-titik hujan. Matahari malu-malu mengintip dari balik awan. Sebuah mobil sedan memasuki garasi rumah. Seorang laki-laki muda keluar dari dalam mobil. Ia berlari menghindari hujan menuju teras rumah. Senja tersenyum riang melihat laki-laki muda itu.
“Ayah!” Senja berlari memeluk ayahnya yang basah kuyup.
Ayahnya membalas senyum putri kecilnya itu.
“Iya sayang. Kok anak ayah di luar. Kan lagi hujan. Nanti anak ayah masuk angin.” Ayahnya memeluk senja erat.
“Enggak ayah. Senja kan kuat. Senja lagi liat pelangi, tapi… pelanginya belum datang. Apa pelangi marah sama Senja yah?” Senja mengangkat kedua tangannya kemudian memandangi langit yang mulai berwarna biru cerah. Masih ada titik hujan di sana.
“Marah sama senja? Memangnya anak ayah nakal ya?”
“Tadi siang Senja mukul Rendi yah.” Senja tertunduk, takut ayahnya akan memarahi dirinya juga seperti Bu Sinta, gurunya di sekolah.
“Anak ayah kok gitu, kayak preman aja. Memangnya kenapa Senja mukul Rendi.”
“Habis Rendi jahat banget sama Rini, teman sebangku Senja. Masak bukunya Rini dibuang-buang yah. Senja kan gak suka. Makanya Senja pukul Rendi.” Senja mengepalkan tangan kanannya dan seperti seorang petinju ia memukul udara dengan tangan mungilnya itu.
“Senja sayang. Gak boleh gitu. Walaupun orang lain jahat sama kita, kita gak boleh membalasnya dengan kejahatan juga. Kita menganggap mereka itu jahat, tapi kita berbuat seperti mereka. Lalu, apa bedanya kita dengan mereka. Senja mengerti maksud ayah?” Ayah Senja menatap mata Senja. Bola mata berwarna coklat yang indah. Bibir mungil itu hanya manyun saja.
“Pokoknya ayah gak mau denger anak ayah berantem atau mukul orang. Anak ayah kan gadis kecil yang manis, pinter dan baik bukan preman. Mereka mungkin memang salah karena menyakiti kita tapi bukan menjadi hak kita untuk membalasnya, sayang.” Ayah senja melanjutkan.
“Tapi yah… aku kan cuma mau belain Rini aja yah. Memang salah ya?” Senja protes.
Ayah senja memandangi putri kecilnya itu. Waktu begitu cepat berlalu hingga tidak terasa sekarang Senja sudah besar. Usianya memang baru menginjak lima tahun tapi cara berfikirnya terkadang seperti orang dewasa. Kepergian ibu Senja empat tahun silam mungkin akan menjadi luka terdalam bagi Ayah Senja namun ia harus tetap kuat demi Senja, buah hatinya.
“Gak salah kalau Senja mau membela Rini tapi bukan dengan cara memukul Rendi. Kan Senja bisa bilang ke bu guru.”
Senja tertunduk merasa bersalah. “Lalu Senja harus bagaimana yah?”
“Besok Senja harus minta maaf sama Rendi. OK?”
“OK deh. Maafin Senja ya yah soalnya Senja udah bikin ayah marah.”
“Iya sayang. Tapi jangan diulangi lagi ya.” Ayah senja mengelus pipi Senja dengan lembut. Senja mengangguk pasti.
Sebuah pelangi terlukis indah di langit senja. Lengkungnya jatuh di atas pepohonan yang basah. Tetesan hujan di ujung dedaunan nampak seperti kristal-kristal yang bersinar diterpa cahaya matahari.
Senja menarik lengan baju ayahnya, “Ayah lihat itu. Pelangi. Indah ya yah.” Pekik Senja. Ayah Senja hanya mengangguk setuju.
“Emmm, ayah. Apa Ibu juga ada di sana?” Senja menunjuk pelangi di atas sana. Seolah berharap ibunya juga melihatnya disini.
“Iya, sayang.” Ayah Senja menjawab datar.
“Apakah ibu juga melihat Senja?”
“Ibu melihat Senja dari balik pelangi itu. Mata pelangi.” Ayah Senja menunjuk pada pelangi yang tersenyum hangat ke arah mereka.
“Mata Pelangi? Apa itu yah?” Senja penasaran.
“Mata Ibumu seperti pelangi. Indah sekali.”
“Benarkah yah?”
Ayah Senja tersenyum, “Iya sayang. Mata pelangi ibumu ada di matamu juga Senja.” Ayah Senja membelai lembut pipi mungil Senja.
“Mata pelangi? Berarti ibu ada di balik pelangi itu ya yah?” Senja menunjuk pelangi yang melengkung indah di atas pepohonan hijau.
Ayah Senja mengangguk untuk yang kesekian kalinya.
Ayah dan anak itu terus memandangi pelangi di atas sana dan berharap orang yang mereka sayang pun melihat mereka. Merasakan juga rasa rindu yang membuncah di dalam hati mereka. Sang pelangi membalas dengan warna tubuhnya yang bersinar terang di angkasa.
“Ayah!” Senja berlari memeluk ayahnya yang basah kuyup.
Ayahnya membalas senyum putri kecilnya itu.
“Iya sayang. Kok anak ayah di luar. Kan lagi hujan. Nanti anak ayah masuk angin.” Ayahnya memeluk senja erat.
“Enggak ayah. Senja kan kuat. Senja lagi liat pelangi, tapi… pelanginya belum datang. Apa pelangi marah sama Senja yah?” Senja mengangkat kedua tangannya kemudian memandangi langit yang mulai berwarna biru cerah. Masih ada titik hujan di sana.
“Marah sama senja? Memangnya anak ayah nakal ya?”
“Tadi siang Senja mukul Rendi yah.” Senja tertunduk, takut ayahnya akan memarahi dirinya juga seperti Bu Sinta, gurunya di sekolah.
“Anak ayah kok gitu, kayak preman aja. Memangnya kenapa Senja mukul Rendi.”
“Habis Rendi jahat banget sama Rini, teman sebangku Senja. Masak bukunya Rini dibuang-buang yah. Senja kan gak suka. Makanya Senja pukul Rendi.” Senja mengepalkan tangan kanannya dan seperti seorang petinju ia memukul udara dengan tangan mungilnya itu.
“Senja sayang. Gak boleh gitu. Walaupun orang lain jahat sama kita, kita gak boleh membalasnya dengan kejahatan juga. Kita menganggap mereka itu jahat, tapi kita berbuat seperti mereka. Lalu, apa bedanya kita dengan mereka. Senja mengerti maksud ayah?” Ayah Senja menatap mata Senja. Bola mata berwarna coklat yang indah. Bibir mungil itu hanya manyun saja.
“Pokoknya ayah gak mau denger anak ayah berantem atau mukul orang. Anak ayah kan gadis kecil yang manis, pinter dan baik bukan preman. Mereka mungkin memang salah karena menyakiti kita tapi bukan menjadi hak kita untuk membalasnya, sayang.” Ayah senja melanjutkan.
“Tapi yah… aku kan cuma mau belain Rini aja yah. Memang salah ya?” Senja protes.
Ayah senja memandangi putri kecilnya itu. Waktu begitu cepat berlalu hingga tidak terasa sekarang Senja sudah besar. Usianya memang baru menginjak lima tahun tapi cara berfikirnya terkadang seperti orang dewasa. Kepergian ibu Senja empat tahun silam mungkin akan menjadi luka terdalam bagi Ayah Senja namun ia harus tetap kuat demi Senja, buah hatinya.
“Gak salah kalau Senja mau membela Rini tapi bukan dengan cara memukul Rendi. Kan Senja bisa bilang ke bu guru.”
Senja tertunduk merasa bersalah. “Lalu Senja harus bagaimana yah?”
“Besok Senja harus minta maaf sama Rendi. OK?”
“OK deh. Maafin Senja ya yah soalnya Senja udah bikin ayah marah.”
“Iya sayang. Tapi jangan diulangi lagi ya.” Ayah senja mengelus pipi Senja dengan lembut. Senja mengangguk pasti.
Sebuah pelangi terlukis indah di langit senja. Lengkungnya jatuh di atas pepohonan yang basah. Tetesan hujan di ujung dedaunan nampak seperti kristal-kristal yang bersinar diterpa cahaya matahari.
Senja menarik lengan baju ayahnya, “Ayah lihat itu. Pelangi. Indah ya yah.” Pekik Senja. Ayah Senja hanya mengangguk setuju.
“Emmm, ayah. Apa Ibu juga ada di sana?” Senja menunjuk pelangi di atas sana. Seolah berharap ibunya juga melihatnya disini.
“Iya, sayang.” Ayah Senja menjawab datar.
“Apakah ibu juga melihat Senja?”
“Ibu melihat Senja dari balik pelangi itu. Mata pelangi.” Ayah Senja menunjuk pada pelangi yang tersenyum hangat ke arah mereka.
“Mata Pelangi? Apa itu yah?” Senja penasaran.
“Mata Ibumu seperti pelangi. Indah sekali.”
“Benarkah yah?”
Ayah Senja tersenyum, “Iya sayang. Mata pelangi ibumu ada di matamu juga Senja.” Ayah Senja membelai lembut pipi mungil Senja.
“Mata pelangi? Berarti ibu ada di balik pelangi itu ya yah?” Senja menunjuk pelangi yang melengkung indah di atas pepohonan hijau.
Ayah Senja mengangguk untuk yang kesekian kalinya.
Ayah dan anak itu terus memandangi pelangi di atas sana dan berharap orang yang mereka sayang pun melihat mereka. Merasakan juga rasa rindu yang membuncah di dalam hati mereka. Sang pelangi membalas dengan warna tubuhnya yang bersinar terang di angkasa.
Langit malam semakin gelap. Dingin menyeruak masuk ke dalam tiap sudut rumah. Senja tertidur pulas di samping neneknya. Mata mungilnya tertutup rapat dan kedua tangannya erat memeluk boneka kelinci kesayangannya. Jam di dinding kamar menunjuk pada angka sembilan. Rio, ayah senja masih terjaga di ruang kerjanya. Matanya fokus memandangi layar komputer. Jemarinya dengan lincah mengetik. Sesekali Rio menguap karena mengantuk. Jemarinya menggerakkan mouse mengklik folder bertuliskan “Cinta”. Foto-foto perempuan berjilbab muncul di layar komputer. Senyumnya merekah. Sesosok bayi mungil tertidur pulas dalam pangkuannya. Dia Febri, ibu Senja. Air bening membuyarkan pandangan Rio. Memaksa untuk tumpah. Rio menghapus air bening itu dengan punggung tanggannya.
“Waktu begitu cepat berlalu sayang hingga tanpa ku sadari, Senja, buah hati kita menjadi perempuan kecil yang cantik seperti dirimu, sayang. Aku merindukanmu. Juga Senja. Apa Kau merindukan kami? Bahagiakah kau di sana? Kami memiliki kebiasan baru, sayang. Saat rindu menyergap hati, kami memandangi pelangi di balik rintik hujan. Senja yang mengusulkan itu. Aku setuju saja. Anak itu semakin hari semakin mirip denganmu, sayang. Manjanya, senyumnya, marahnya dan matanya. Mata pelangi milikmu ada padanya. Tiap kali aku menatapnya, aku merasa kau ada di sana. kau memang akan tetap selalu ada dan hidup, di hati kami.”
“Waktu begitu cepat berlalu sayang hingga tanpa ku sadari, Senja, buah hati kita menjadi perempuan kecil yang cantik seperti dirimu, sayang. Aku merindukanmu. Juga Senja. Apa Kau merindukan kami? Bahagiakah kau di sana? Kami memiliki kebiasan baru, sayang. Saat rindu menyergap hati, kami memandangi pelangi di balik rintik hujan. Senja yang mengusulkan itu. Aku setuju saja. Anak itu semakin hari semakin mirip denganmu, sayang. Manjanya, senyumnya, marahnya dan matanya. Mata pelangi milikmu ada padanya. Tiap kali aku menatapnya, aku merasa kau ada di sana. kau memang akan tetap selalu ada dan hidup, di hati kami.”
“Rio, bangun Rio. Rio.” Seseorang mengetuk pintu kamar. Rio terjerembab kaget. Dengan gontai ia membuka pintu. Ibu Rio berdiri dengan gusar di depan pintu kamar.
“Rio, Senja.” Ibu paruh baya itu menunjuk-nunjuk kamar Senja.
“Senja kenapa bu?” Rio panik tapi ia berusaha tetap tenang.
“Nafasnya… sesak.” Ibu Rio terbata. Rio berlari menuju kamar Senja. Pintu kamar terbuka. Bik Sumi duduk di samping Senja. Wajahnya panik.
“Tuan, non Senja tuan.” Rio melemparkan pandang. Dilihatnya Senja mengejang. Nafasnya naik-turun. Rio mendekat. Tubuh Senja juga panas. Rio meraih handphone yang tersimpan di saku celananya. Dengan gesit ia memencet nomor, menghubungi seseorang. Beberapa detik kemudian terdengar suara laki-laki dari seberang.
“Hallo, Dok. Maaf mengganggu waktu istirahat dokter. Senja badannya panas. Nafasnya juga sesak. Apa dokter bisa datang ke rumah?”
Diam sejenak di seberang.
“Iya dok. Saya tunggu. Terima kasih.” Terputus.
“Rio, Senja.” Ibu paruh baya itu menunjuk-nunjuk kamar Senja.
“Senja kenapa bu?” Rio panik tapi ia berusaha tetap tenang.
“Nafasnya… sesak.” Ibu Rio terbata. Rio berlari menuju kamar Senja. Pintu kamar terbuka. Bik Sumi duduk di samping Senja. Wajahnya panik.
“Tuan, non Senja tuan.” Rio melemparkan pandang. Dilihatnya Senja mengejang. Nafasnya naik-turun. Rio mendekat. Tubuh Senja juga panas. Rio meraih handphone yang tersimpan di saku celananya. Dengan gesit ia memencet nomor, menghubungi seseorang. Beberapa detik kemudian terdengar suara laki-laki dari seberang.
“Hallo, Dok. Maaf mengganggu waktu istirahat dokter. Senja badannya panas. Nafasnya juga sesak. Apa dokter bisa datang ke rumah?”
Diam sejenak di seberang.
“Iya dok. Saya tunggu. Terima kasih.” Terputus.
Lima belas menit kemudian terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Rio meminta bik Sumi membuka pintu. Dokter Andi masuk ke kamar Senja kemudian. Di tangannya sebuah tas hitam mengkilat berisi berbagai peralatan kedokteran. Dengan cekatan Dokter Andi memeriksa Senja. Rio memandang bergantian, Dokter Andi dan Senja. Kegelisahan menyusup ke dalam hatinya.
Jangan kau ambil Senja Tuhan. Aku mohon. Rio berdialog pada Sang Pencipta. Memohon agar Ia mengizinkan Senja tetap bersamanya, menemani hari-harinya.
Dokter Andi mengajak Rio keluar kamar.
“Maaf pak. Kondisi Senja sangat kritis. Suhu badannya tinggi. Harus segera dibawa ke rumah sakit. Lebih cepat lebih baik.” Dokter Andi menepuk pundak Rio kemudian berpamitan pulang.
Jangan kau ambil Senja Tuhan. Aku mohon. Rio berdialog pada Sang Pencipta. Memohon agar Ia mengizinkan Senja tetap bersamanya, menemani hari-harinya.
Dokter Andi mengajak Rio keluar kamar.
“Maaf pak. Kondisi Senja sangat kritis. Suhu badannya tinggi. Harus segera dibawa ke rumah sakit. Lebih cepat lebih baik.” Dokter Andi menepuk pundak Rio kemudian berpamitan pulang.
Hari ke tujuh. Rumah Sakit Kasih Ibu ruang melati. Senja masih belum sadar sejak tujuh hari yang lalu. Sejak Dokter Andi menyarankan pada Rio, Senja segera dibawa ke Rumah Sakit. Raut muka yang pucat itu menyunggingkan sedikit senyum. Hanya sedikit. Bik Sumi duduk di sebelah Senja dengan tangan menyangga kepala yang terasa berat. Letih yang sangat, mengendap di tubuhnya yang mulai menua. Langit terlihat muram. Angin dingin membawa dedaunan kering terbang tanpa arah. Meski mendung, belum ada tanda hujan akan segera turun. Rio memasuki ruangan. Bik Sumi akhirnya tertidur di samping Senja. Rio membangunkan bik Sumi.
“Bik Sum, malam ini biar saya saja yang menjaga Senja. Bik Sumi bisa istirahat di rumah.” Rio tersenyum meski sedikit dipaksakan. Bik Sumi mengangguk dan berpamitan pulang. Rio memandangi Senja yang masih terlelap dalam tidur panjangnya. Tangannya lembut mengelus rambut Senja. Setitik air meleleh di pipi Rio. Rio membiarkannya tidak berusaha menghapus airmata yang sudah membasahi kedua matanya. Mendung di luar semakin pekat. Titik-titik hujan berbarengan turun membasahi tanah, pepohonan, parkiran, tenda para pedagang kaki lima dan yang lainnya. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh melindungi diri dari hujan. Rio memejamkan mata. Mendengarkan nyanyian hujan yang semakin deras. Punggungnya bersandar pada kursi. Hati dan pikirannya mengembara.
“Bik Sum, malam ini biar saya saja yang menjaga Senja. Bik Sumi bisa istirahat di rumah.” Rio tersenyum meski sedikit dipaksakan. Bik Sumi mengangguk dan berpamitan pulang. Rio memandangi Senja yang masih terlelap dalam tidur panjangnya. Tangannya lembut mengelus rambut Senja. Setitik air meleleh di pipi Rio. Rio membiarkannya tidak berusaha menghapus airmata yang sudah membasahi kedua matanya. Mendung di luar semakin pekat. Titik-titik hujan berbarengan turun membasahi tanah, pepohonan, parkiran, tenda para pedagang kaki lima dan yang lainnya. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh melindungi diri dari hujan. Rio memejamkan mata. Mendengarkan nyanyian hujan yang semakin deras. Punggungnya bersandar pada kursi. Hati dan pikirannya mengembara.
Waktu melaju begitu cepat. Langit semakin gelap namun hujan belum ingin beranjak pergi. Membawa tiap jiwa tenggelam dalam mimpi. Terlihat cahaya yang sangat terang. Rio melangkahkan kaki menyusuri padang ilalang. Menoleh ke kanan ke kiri. Tak ada seorang pun. Rio tetap terus melangkah. Terdengar suara orang di bawah pohon besar yang berada tak jauh dari tempat Rio berdiri. Rio mendekat. Seorang perempuan muda sedang bermain dengan seorang gadis kecil. Mereka tampak bahagia, senyum mereka merekah. Gadis kecil itu menoleh ke arah Rio.
“Ayah.” Panggil gadis itu.
Rio mencoba mengenali wajah dan suara itu.
“Senja.” Rio berkata pelan. Gadis kecil itu sudah berdiri di depan Rio.
“Itu ibu yah.” Senja menunjuk perempuan yang tadi berdiri di bawah pohon dan sekarang berjalan mendekati mereka.
“Febri.” Rio tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Orang yang selalu ia rindukan, sekarang berdiri dengan senyum indah merekah. Mata pelangi itu masih tetap sama.
“Senja, kita harus pergi sekarang.” Febri meraih tangan mungil Senja. Senja menganguk, menurut.
“Daa ayah.” Senja melambaikan tangan pada ayahnya.
“Tunggu. Kalian mau kemana? Senja di sini saja. Sama Ayah. Kemari sayang.” Rio mencegah.
“Tidak Rio. Senja ikut bersamaku. Jaga dirimu baik-baik. Selamat tinggal.” Febri tersenyum.
“Ayah jangan sedih. Senja sama ibu gak kemana-mana kok. Ayah bisa lihat senja juga ibu di balik pelangi indah itu. Daaa ayah.” Senja menunjuk pelangi yang melengkung indah di atas langit biru yang cerah. Rio terus memanggil Senja memintanya tinggal bersamanya namun mereka telah hilang bersama pudarnya cahaya indah pelangi. Rio tersadar. Keringat dingin memenuhi seluruh tubuhnya. Pukul dua dini hari.
“Ayah, dingin ayah. Dingin. Dingin. Dingin yah.” Wajah Senja pucat pasi. Rio dengan sigap menyelimuti tubuh Senja.
“Masih dingin sayang?” Rio mulai cemas. Senja mengangguk pelan. Rio mengeluarkan selimut yang tadi sempat dia ambil dari rumah. Senja masih menggigil. Tubuhnya panas tinggi. Rio memanggil dokter Andi.
“Tolong dok. Selamatkan putri saya dok.”
“Bapak tenang dulu. Lebih baik bapak menunggu di luar. Biar saya periksa Senja dulu.”
“Ayah.” Panggil gadis itu.
Rio mencoba mengenali wajah dan suara itu.
“Senja.” Rio berkata pelan. Gadis kecil itu sudah berdiri di depan Rio.
“Itu ibu yah.” Senja menunjuk perempuan yang tadi berdiri di bawah pohon dan sekarang berjalan mendekati mereka.
“Febri.” Rio tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Orang yang selalu ia rindukan, sekarang berdiri dengan senyum indah merekah. Mata pelangi itu masih tetap sama.
“Senja, kita harus pergi sekarang.” Febri meraih tangan mungil Senja. Senja menganguk, menurut.
“Daa ayah.” Senja melambaikan tangan pada ayahnya.
“Tunggu. Kalian mau kemana? Senja di sini saja. Sama Ayah. Kemari sayang.” Rio mencegah.
“Tidak Rio. Senja ikut bersamaku. Jaga dirimu baik-baik. Selamat tinggal.” Febri tersenyum.
“Ayah jangan sedih. Senja sama ibu gak kemana-mana kok. Ayah bisa lihat senja juga ibu di balik pelangi indah itu. Daaa ayah.” Senja menunjuk pelangi yang melengkung indah di atas langit biru yang cerah. Rio terus memanggil Senja memintanya tinggal bersamanya namun mereka telah hilang bersama pudarnya cahaya indah pelangi. Rio tersadar. Keringat dingin memenuhi seluruh tubuhnya. Pukul dua dini hari.
“Ayah, dingin ayah. Dingin. Dingin. Dingin yah.” Wajah Senja pucat pasi. Rio dengan sigap menyelimuti tubuh Senja.
“Masih dingin sayang?” Rio mulai cemas. Senja mengangguk pelan. Rio mengeluarkan selimut yang tadi sempat dia ambil dari rumah. Senja masih menggigil. Tubuhnya panas tinggi. Rio memanggil dokter Andi.
“Tolong dok. Selamatkan putri saya dok.”
“Bapak tenang dulu. Lebih baik bapak menunggu di luar. Biar saya periksa Senja dulu.”
Satu jam yang sangat mencekik. Rio mondar-mandir di ruang tunggu rumah sakit. Berkali-kali kepalanya menengok ke dalam. Dokter Andi masih sibuk memeriksa. Udara menjadi sangat dingin. Seakan menyergap semua harapan dan kebahagiaan. Dokter Andi keluar dan menutup pintu pelan.
“Bagaimana dok?” Rio semakin cemas melihat ekspresi wajah dokter Andi saat keluar dari ruangan.
“Mohon maaf pak. Senja tidak tertolong. Saya minta maaf. Saya sudah berusaha semampu saya. Semoga bapak bisa tabah menghadapi kenyataan ini.” Dokter Andi menepuk pundak Rio dan berlalu pergi. Kaki Rio tiba-tiba saja terasa hilang. Tubuhnya tumbang terjatuh ke lantai. Tangisnya pecah. Hatinya menolak kenyataan bahwa Senja telah pergi. Tertatih Rio berusaha bangkit. Matanya nanar memandang Senja yang terbujur kaku di atas ranjang. Kedua mata itu tertutup rapat. Rio memanggil Senja berharap Senja akan menjawab dan memanggil namanya. Namun Senja tetap diam tak bergerak.
“Bagaimana dok?” Rio semakin cemas melihat ekspresi wajah dokter Andi saat keluar dari ruangan.
“Mohon maaf pak. Senja tidak tertolong. Saya minta maaf. Saya sudah berusaha semampu saya. Semoga bapak bisa tabah menghadapi kenyataan ini.” Dokter Andi menepuk pundak Rio dan berlalu pergi. Kaki Rio tiba-tiba saja terasa hilang. Tubuhnya tumbang terjatuh ke lantai. Tangisnya pecah. Hatinya menolak kenyataan bahwa Senja telah pergi. Tertatih Rio berusaha bangkit. Matanya nanar memandang Senja yang terbujur kaku di atas ranjang. Kedua mata itu tertutup rapat. Rio memanggil Senja berharap Senja akan menjawab dan memanggil namanya. Namun Senja tetap diam tak bergerak.
Hujan baru saja berhenti. Menyisakan titik hujan di ujung dedaunan. Langit berubah biru cerah. Pemakaman masih ramai pelayat. Nenek Senja masih menangis saat seorang tetangga menyalami. Rio jongkok terdiam di samping pusara Senja. Tak dihiraukan para tetangga yang ingin mengajaknya bersalaman. Rio masih bertahan saat kerumunan para pelayat sudah pulang. Kenangan bersama Senja datang tiba-tiba seperti video yang sedang diputar. Terkadang Rio tertawa kecil, terkadang ia menangis. Rio mengangkat kepala. Menghapus sisa airmatanya. Di ujung sana, sebuah pelangi muncul. warna merah, kuning, hijau terlihat sangat indah di langit yang berwarna biru cerah. Rio teringat kalimat Senja semalam, Ayah bisa lihat senja juga ibu di balik pelangi indah itu. Kalimat terakhir Senja yang akan selalu Rio ingat.
Hidup harus terus berlanjut, seberapa menyakitkan aku kehilangan Febri dan Senja. Biarkan waktu yang menjadi obat atas semua luka dan pedih ini, Mereka akan selalu hidup di dalam hatiku, Rio berucap mantap, menguatkan diri. Pelangi di atas sana masih tercipta sempurna saat Rio melangkah meninggalkan pemakaman. Tetesan hujan yang diam di atas dedaunan tampak berkilauan ditimpa cahaya matahari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar